Zakat untuk Penduduk Palestina
Oct 16, 2024
Pada dasarnya pungutan dan distribusi zakat bersifat lokalistik. Tu'khadzu min aghniyaa'ihim wa turaddu ilaa fuqaraa'ihim (dikumpulkan dari orang kaya-daerah dan didistribusikan kepada orang-orang fakir-daerah). Tetapi, dibolehkan zakat didistribusikan ke luar daerah pungutan bila dijumpai pihak-pihak yang lebih membutuhkan.
Di era digital sekarang, pendekatan lokal ini terasa sulit mengingat koleksi dan distribusi zakat bisa dilakukan lintas batas bahkan lintas negara.
Zakat juga memiliki sasaran spesifik sebagai mustahik (penerima manfaat) sebagaimana tersebut dalam At-Taubah: 60, yaitu yaitu fakir, miskin, amil (petugas zakat), mualaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil.
Pembayaran zakat untuk penduduk Palestina mengikuti kaidah-kaidah di atas. Penduduk Palestina mengalami situasi-situasi sulit. Rumah-rumah dan fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan ibadah mengalami kehancuran. Mereka menghadapi kesulitan air, obat-obat, bahan pangan, dan kebutuhan primer lainnya.
Dengan kondisi seperti itu, mereka lebih membutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan agama (din), kesehatan (nafs), keturunan (nasl), pendidikan (aql), dan ekonomi (maal), dan lingkungan (bi'ah).
Perspektif ashnaf mustahik (kelompok penerima) dapat dikatakan bahwa penduduk Palestina layak menjadi mustahik zakat.
Bahkan, dijumpai fenomena menarik, bahwa jarang terjadi delapan ashnaf hadir secara bersamaan di suatu kawasan. Biasanya, di suatu kawasan terdapat sebagian kategori mustahik zakat, namun di Palestina dijumpai para mustahik dengan seluruh atau mayoritas kriteria yaitu fakir, miskin, amil (petugas zakat), mualaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil secara bersamaan. Karena itu, ulama kontemporer memandang kebolehan penyaluran zakat bagi penduduk Palestina.
Fakir dan miskin merupakan ashnaf penerima zakat. Kriteria fakir miskin terlihat pada penduduk Palestina. Mayoritas penduduk Palestina tidak memiliki harta atau tidak bisa memanfaatkan harta miliknya. Mereka menghadapi ancaman kematian karena tidak mampu atau tidak bisa membeli kebutuhan pokoknya.
Israel tidak hanya memerangi penduduk dengan senjata, tetapi juga dengan strategi tajwii' (membuat masyarakat kelaparan). Terdapat larangan ketat terhadap aktifitas produksi dan suplai kebutuhan primer.
Kriteria mualaf dijumpai di Palestina.
Mayoritas masyarakat memahami bahwa mualaf adalah orang yang baru masuk Islam atau mantan non muslim. Mualaf diberi zakat guna memikat hatinya agar bertahan dengan keislamannya.
Dulu, mualaf adalah orang-orang non muslim yang berpotensi mengganggu umat Islam. Mereka diberi zakat agar tidak mengganggu umat Islam. Pada era Umar bin Khatthab, mereka (mualaf) tidak diberi zakat sebab umat Islam menguat dan tidak mengkhawatirkan makar mereka.
Kategori lain dari mualaf terinspirasi oleh literatur Syafi'iyyah dan Hanabilah yang menyebutkan dua kategori mualaf yaitu kalangan muslim dan kalangan non muslim. "Mualaf kalangan muslim terdiri dari empat bagian. Di antaranya, penduduk muslim yang berada di pinggiran/perbatasan negeri (fi tharfi biladi al-Islam) berbatasan dengan kaum kafir. Penduduk muslim ini bila diberi dana oleh Imam. Mereka berjuang melindungi penduduk muslim menghadapi potensi serangan kafir. Bila mereka tidak diberi dana, mereka pasif tidak membela kaum muslimin. Sementara untuk memberangkatkan pasukan ke perbatasan, Imam membutuhkan anggaran yang lebih besar."
Pandangan tentang mualaf tersebut di atas menginspirasi konsep al-amnu al-qaumi (keamanan bangsa) sebagai kriteria mualaf berupa kepentingan menjaga wilayah-wilayah perbatasan (al-tsughur'). Zakat dialokasikan untuk menjaga keamanan kawasan-kawasan yang rentan terhadap ancaman keamanan yang menimpa umat Islam. Dengan demikian, zakat dapat dialokasikan untuk melindungi penduduk Palestina yang terancam oleh serangan Israel.
Zakat untuk riqab (membebaskan budak). Dulu, praktik pembebasan budak bersifat personal individual. Bahwa zakat didistribusikan untuk membebaskan individu-individu yang menjadi budak.
Sekarang, perbudakan telah berakhir. Dewasa ini, tidak dijumpai lagi individu budak yang statusnya separo orang merdeka. Tetapi, Syekh Rasyid Ridha melihat adanya fenomena perbudakan bangsa melalui penjajahan atau imperialisme. Baginya, ketika tidak ada perbudakan individual, zakat dapat dialokasikan untuk pembebasan bangsa yang terjajah.
Syekh Mahmud Syalthut memiliki pandangan yang sama bahwa ketika tidak ditemukan lagi perbudakan individu (afrad'), alokasi riqab dari zakat dapat digunakan untuk membebaskan perbudakan yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan, yaitu perbudakan (oleh penjajahan) atas pemikiran, harta, kekuasaan, dan kebebasan bangsa.
Pendapat Syekh Rasyid Ridha dan Syekh Mahmud Syalthut tersebut menjadi acuan bahwa zakat boleh diberikan kepada penduduk Palestina yang mengalami perbudakan (penjajahan) bangsanya.
Zakat diberikan untuk membebaskan orang-orang yang berhutang (gharim').
Menurut Imam al-Nawawi, gharim adalah orang yang berhutang untuk kepentingan mendamaikan atau meredakan konflik yang terjadi antara dua pihak (individu atau kelompok).
Konsep gharim versi Imam al-Nawawi dikembangkan oleh Al-Qardhawi bahwa siapapun yang berhutang untuk kepentingan publik (masyarakat) seperti berhutang untuk membangun masjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dan proyek-proyek sosial lainnya, maka termasuk gharim.
Dengan makna di atas, penduduk Palestina tergolong gharim. Mereka mengorbankan harta, rumah, perusahaan, dan sumberdaya demi kemashlahatan bangsanya. Dengan demikian, berhak atas zakat sebab mereka tergolong gharimin.
Penduduk Palestina berhak atas zakat melalui kriteria sabilillah. Mereka menghadapi imperialis yang menjajah tanah airnya. Zakat boleh didistribusikan untuk sabilillah.
Kriteria sabilillah disebutkan oleh Al-Khiraqi yaitu al-ghuzzah (para pejuang), mereka diberi zakat untuk membeli segala sarana guna melindungi kehidupannya dari serangan musuh. Mereka diberi zakat meskipun tergolong orang kaya.
Pendapat Al-Khiraqi senada dengan pendapat Imam Malik, Imam Syarfi'i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Abu Ubaid, serta Ibnu al-Mundzir.
Kriteria Ibnu Sabil terlihat juga pada penduduk Palestina. Secara fiqih dan realitas, kriteria ibnu sabil di Palestina tidak terdapat perbedaan.
Secara fiqih, ibnu sabil adalah musafir yang tidak memiliki bekal cukup untuk kembali ke domisilinya. Penduduk Palestina atau pengungsi asal Palestina memenuhi kriteria ibnu sabil. Faktanya, penduduk Palestina mengungsi. Setelah rumah dan tempat tinggalnya hancur, mereka meninggalkan domisilinya dari wilayah Utara menuju Selatan, dari Gaza menuju negara lain, atau terusir dari kawasan Rafah. Kondisi ini menjadikan mereka seperti ibnu sabil yang tidak mampu kembali ke kampung halamannya.
Pandangan tentang zakat untuk Penduduk Palestina ini bisa dijadikan sebagai acuan dalam distribusi zakat ke kawasan-kawasan bencana yang memusnahkan segala sumber daya penduduknya.
Oleh Dr. Ahmad Jalaludin, Lc., MA (Dosen Ekonomi Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
---
Sumber: Majalah Zakato Edisi Oktober 2024
Sumber image: Image by freepik
---
Tulisan ini tersimpan di Program - Lembaga Manajemen Infaq (LMI)